buku tamu

السنتري

بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين ويتبع سنة الرسول الامين صلى الله عليه وسلم ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت وحين هذا معناه بالسيرة والحقيقة لا يبدل ولا يغير قديما وحديثا. والله اعلم بنفس الامر وحقيقة الحال.قاله المغفور له حضرة الشيخ حسني بن نووي SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan dirubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya. oleh: almaghfur lah kiai Hasani Nawawi

Minggu, 13 November 2011

Janggut dan Kumis, perbedaan mendasar yang terlalu dipermasalahkan







oleh: Adam elfarizy
Perdebatan masalah “kumis” dan “jenggot/janggut” tak reda-reda sampai saat ini, bahkan telah sampai pada tahap saling vonis dan saling tuduh antara satu golongan dengan yang lain, padahal masing-masing dari mereka sudah tahu bahwa memelihara janggut dan mencukur kumis itu adalah sunnah, namun akar masalahnya bukan disitu, tapi, masalah janggut dan kumis ini memang masih terdapat ikhtilaf/kontroversi para ulama dalam memutuskan hukumnya, sebagian mereka mewajibkan dipeliharanya janggut dan memotong kumis secara rutin, dan berdosalah orang yang meninggalkannya, dan ulama dari kubu lain memutuskan bahwa hal itu hanya sebatas sunnah yang tidak menyebabkan dosa bagi siapapun yang meninggalkannya.
Sebenarnya masalahnya simpel sekali, terlalu kecil untuk sebuah masalah kalau sampai pada keadaan yang membuat hati merasa miris saat mendengarnya, disana mereka berdebat, yang satu menuduh yang lain menyerupai orang kafir dan yang lain merasa tersinggung karna disamakan dengan orang kafir, yang satu mencela ulama yang memasukkan masalah ini dalam kategori sunnah muakkadah, yang lain menganggap bodoh ulama yang melabeli masalah ini dengan “wajib syar’I”, padahal hanya masalah janggut dan kumis!
Apa sih sebenarnya yang dituju dan apa hikmah dibalik anjuran Rasulullah agar umatnya memelihara janggutnya dan memotong kumisnya? Berikut ini adalah dalil-dalil yang dipakai oleh mereka yang mewajibkan memelihara janggut dan mengharamkan memotongnya, dan mewajibkan memotong kumis dan mengharamkan membiarkannya sampai panjang:
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh, Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot tersebut sebagaimana adanya.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘alam Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam-Maktabah Syamilah 5)
Di samping hadits-hadits yang menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim no. 627)
Jika seseorang mencukur jenggot, berarti dia telah keluar dari fitroh yang telah Allah fitrohkan bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada penggantian pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum 30)
Jadi, bisa disimpulkan bahwa diantara hikmah dianjurkannya memanjangkan/memelihara janggut dan memotong kumis ialah; menyelisihi/berbeda dengan kaum kuffar dan menambah ketakwaan dengan mengikuti sunnah Nabi SAW. Tapi, tidakkah kita lihat realita yang terjadi, bahwa tidak semua orang yang berjenggot itu baik perangainya, sebagaimana tidak semua orang yang memelihara kumis itu jahat? Apalah artinya jenggot jika ternyata perangai kita masih kurang baik atau masih serupa dengan kaum kuffar? Atau apakah kita harus mencela saudara kita yang tidak berjenggot atau memelihara kumis meski kenyataannya akhlaknya baik? Apakah Rasulullah diutus kedunia ini hanya agar umatnya ribut masalah janggut dan kumis? Mari berfikir sebagaimana manusia yang berotak!
Rasulullah SAW. Bersabda: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak/budi pekerti yang mulya”.
Lalu, dengan apakah akhlak yang terpuji itu bisa diperoleh? Yaitu dengan mengikuti tuntunan syariat, menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Itu saja? Ya, itu saja.
Dengan itu saja, semua tujuan syariat/maqasid syariah bisa dicapai dengan itu saja, termasuk menyelisishi orang kafir dan mencapai ketakwaan, jadi, apa saja yang diperintahkan oleh syariat kerjakanlah dan apa saja yang dilarangnya hindari dan jauhilah. Tanpa mengesampingkan maqasid syariah yang lain, karena kaidah imtitsal awamir wajtinab nawahi itu adalah kaidah umum yang mencakup kaidah-kaidah lainnya, dan itu artinya, untuk menyelisihi orang kafir dan meningkatkan ketakwaan tidak harus berjenggot dan tidak berkumis, akan tetapi masih banyak cara lainnya yang juga dianjurkan, semisal tidak minum khamr/arak, berpakaian yang sopan dan menutup aurat, memperbaiki budi pekerti dan lain-lainnya.
Namun, untuk menambah wawasan, mari kita tengok pendapat para ulama yang pembahasannya sangat panjang sekali dalam membahas hal sepele ini, ups… saya katakana sepele karena pembahasan masalah janggut dan kumis ini bukan masalah ushul syariah atau akidah, tapi furu’ syariah.

Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukum memotong sebagian jenggot. Sebagian besar ‘ulama memakruhkan, sebagian lagi membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd, juz 24, hal. 145). Salah seorang ‘ulama yang membolehkan memotong sebagian jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy ‘Iyadl.
Imam Bukhari mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis. Adalah Ibnu ‘Umar, jika ia menunaikan haji atau umrah, maka ia menggenggam jenggotnya, dan memotong kelebihannya.
Imam Muslim juga meriwayat hadits yang isinya senada dengan riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar, namun dengan menggunakan redaksi yang lain:
Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot.
Riwayat-riwayat sama juga diketengahkan oleh Abu Dawud, dan lain sebagainya. Imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwa dhahir hadits di atas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot, atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadl menyatakan:
“Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.[/i]” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Menurut Imam An-Nawawi, para ‘ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351).
Sebagian ‘ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.
Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).
Menurut Imam Ath-Thabari, para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya.
Dari ‘Atha dan ‘ulama-‘ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagiannya, dan disunnahkan panjangnya serasi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426).
Al-Thaiyyibiy melarang mencukur jenggot seperti orang-orang A’jam (non muslim) dan menyambung jenggot seperti ekor keledai. Al-Hafidz Ibnu Hajar melarang mencukur jenggot hingga habis (Ibid, juz 4, hal. 426).
Kami berpendapat bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub).
Jadi intinya, masalah janggut dan kumis itu masih dipertentangkan dan panjang sekali pembahasannya, sekarang tinggal anda yang memilih, saran saya, kalau anda suka memelihara jenggut silahkan dipelihara dan niatkan untuk mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan kalau anda tidak suka, maka tidak apa-apa, asalkan jangan menentang kesunnahannya memelihara janggut dan memotong kumis! Ok bro, silahkan pilih asal jangan jotos-jotosan ya.
Salam ukhuwah.

0 comments:

Posting Komentar

cantumkan komentar anda disini