buku tamu

السنتري

بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين ويتبع سنة الرسول الامين صلى الله عليه وسلم ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت وحين هذا معناه بالسيرة والحقيقة لا يبدل ولا يغير قديما وحديثا. والله اعلم بنفس الامر وحقيقة الحال.قاله المغفور له حضرة الشيخ حسني بن نووي SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan dirubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya. oleh: almaghfur lah kiai Hasani Nawawi

Selasa, 15 November 2011

Madura Kedepan Pasca Suramadu


Madura Kedepan Pasca Suramadu
Ibnu Dumairi[1]
Dua tahun sudah Suramadu resmi dibuka. Mestinya kita, sebagai warga Madura patut untuk mensukurinya, karena dengan begitu perjalanan Madura-Jawa terasa lebih mudah, karena warga Madura  bisa menempuhnya melalui dua jalur: Jalur Kapal dan tol Suramadu.
Namun, di sisi lain, peresmian Suramdu tersebut adalah pertanda masuknya pasar bebas. Dengan begitu, ruang lingkup perdagangan warga Madura yang sebelumnya lokal akan menjadi interlokal, bahkan internasional. Semua ini adalah tantangan bagi semua warga Madura. Maka dari itu, mulai dari sekarang warga Madura sudah harus mempersiapkan diri dan mental untuk bersaing dengan para imigran dan kreatifitas warga juga harus ditingkatkan, sehingga nantinya warga Madura akan menjadi warga yang mandiri, terutama dalam lingkup ekonominya.
Belum lagi sistem kapitalisme yang kini menjajah perekonomian bangsa, bukan cuma di Indonesia, tapi juga di dunia. Dari itu, jika seumpama kreatifitas warga tidak ditingkatkan maka, warga Madura akan menjadi warga miskin yang terjajah, karena tidak mampu untuk bersaing. Dan ini akan merembet kepada lingkup yang lain: Budaya dan Agama.
Adanya pasar bebas tersebut juga manandai terjadinya akulturasi antar warga setempat (Madura) dengan para imigran. Ini adalah keniscayaan dan sudah menjadi hukum alam. Dengan begitu, warga Madura akan menjumpai tradisi atau budaya para imegran: Dari tradisi atau budaya tersebut mungkin ada yang sama, sehingga bisa untuk dikawinkan, mungkin ada yang berbeda. Dari tradisi atau budaya  yang berbeda tersebut dari luar ada yang nampak menyilaukan dan mungkin ada yang memang benar-benar menyilaukan. Di sini warga Madura tidak boleh gagap, sehingga silau dengan semua budaya mereka dan modernisasi yang dibawa mereka. Warga harus bersikap bijak dengan tetap konsisten terhadap tradisi atau budaya lama yang masih layak untuk diterapkan. Sementara untuk tradisi dan budaya luar, warga tidak boleh menutup telinga dan harus berfikir terbuka dengan cara memanfaatkan yang bagus dari mereka.
Agama juga akan terkena imbas dari pasar bebas tersebut yang disebabkan adanya hubungan antar waga setempat dengan para imigran, antara warga lokal dengan interlokal.
Kita tahu bahwa warga Indonesia, khususnya warga Madura notabenenya dalam urusan furu’ menganut paham mahdzab yang empat. Namun, yang mendominasi adalah mahdzab Syafi’I, bahkan bisa dibilang bahwa empat mahdzab yang dianut warga Madura tersebut hanya simbolis belaka, karena kenyataannya memang tidak membudaya dan tidak dikenal oleh warga. Realita ini menurut penulis dapat menjadi masalah, ketika nantinya warga Madura harus bergaul dengan sebagian imigran yang menganut paham yang sama. Namun, sudah ketatanan praktek, bukan cuma simbolis, apalagi kalau nantinya mereka menjumpai imigran yang menganut semua paham  dari mahdzab yang tiga belas.  Maka, nantinya warga setempat akan pecah dengan para imigran dan akan saling menyalahkan, bahkan bisa saling mengkafirkan. Nah, di sini penulis mahu mengajak para pembaca, sebagai sebuah perbandingan untuk membaca realita perpecahan yang terjadi jauh-jauh sebelumnya, yaitu di masa Sy. Utsman. Perpecahan yang terjadi akibat adanya perbedaan bacaan (qirâ’ât) antar warga setempat dengan warga dari luar, dikarenakan warga setempat dan warga dari luar hanya diperkenalkan satu bacaan, tidak bacaan yang lain, hingga akhirnya Sy. Utsman berinisiatif menyatukan bacaan, sehingga umat tidak berpecah dan saling mengkafirkan antar satu dengan yang lain dan sekarang kita sudah merasakan persatuan tersebut yang ditandai adanya Mushaf Utsmani. 
Realita di atas juga bisa menjangkit pada permasalahan Ushul mengingat warga Madura dalam masalah ini hanya menganut dua paham: Asya’irah dan Maturidiah, walaupun realitanya Asya’irah lebih mendominasi dari pada Maturidiyah. Sementara para imigran nantinya pasti akan menganut paham yang sangat variatif: Asya’irah, Maturidiyah, Salafiyah, Muktazilah, serta paham-paham lainnya. Ini juga nantinya akan jadi masalah dengan konsekuensi sama seperti di atas. Makanya, kita perlu memikirkan solusinya dari sekarang.
Semua di atas menurut penulis belum terlalu bahaya dibanding paham yang dibawa Orientalis sebagai kaki tangan para penjajah, mulai dari lebralisme, skularisme, pluralisme, feminisme serta paham-paham lainnya. Paham-paham di atas tersebut menurut penulis mengganggu otentisitas Agama Islam, karena salah satu dari misi paham di atas adalah menebar keraguan terhadap ajaran Islam, sehingga nantinya Islam terlihat keruh, seperti yang kita saksikan sekarang. Makanya, warga Madura harus selalu siap siaga mulai dari sekarang untuk menghadapi semua ini dengan cara memperkokoh keyakinan dan meningkatkan nilai bacaan.
Di sinilah pentingnya pendidikan dan pembaharuan-pembaharuan dalam kurikulum pendidikan. Penulis melihat bahwa pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya di Madura cendrung menutup diri dan kurang mengikuti perkembangan, hingga akhirnya tidak dapat berpartisipasi di luar dan tidak dapat bersaing dengan dunia luar. Maka, tidak heran kalau sebagian alumninya hanya menjadi jago kampung dan tidak dapat bersaing di luar.
Belum lagi kurikulum pendidikannya yang juga cenderung menutup diri terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang. Seperti yang penulis sebutkan bahwa pesantren menganut paham empat mahdzab. Namun, hanya simbolis saja, karena realitanya mahdzab Syafi’I yang mereka gunakan. Di sini saya melihat bahwa permasalahannya ada pada tenaga pengajar yang cendrung tektualis dalam mengajar dan tidak memperkenalkan pemikiran-pemikiran lain dan mahdzab selain mahdzab Syafi’I. Hal ini bisa karena tenaga pengajarnya tidak tahu selain yang dia ajarkan atau mungkin karena kurangnya bacaan. Makanya, menurut penulis perlu adanya seleksi yang lebih ketat terhadap tenaga pengajar.
Sementara minimnya fasilitas di sekolah umum, mulai dari tingkat SMA sampai Universitas juga menjadi kendala berkembangnya kratifitas warga Madura, hingga akhirnya pelajaran di sekolah sifatnya masih teoritis belum ketataran praktek.
Terlepas dari itu semua, sedikit mahu penulis simpulkan bahwa sebenarnya permasalahan yang harus lebih diperhatikan oleh warga Madura kedepan pasca Suramadu adalah ekonomi warga. Warga harus sudah mempersiapkan diri mulai sekarang dan kreatifitas warga juga sudah harus ditingkatkan, karena menurut penulis kekuatan bangsa, khususnya warga Madura untuk zaman sekarang bisa dinilai dari kualitas ekonominya, karena dengan begitu maka, warga bisa merdeka, sehingga budaya dan Agama juga bisa merdeka. Tentunya, Madura harus terusmeningkatkan pendidikannya dan mengadakan perbaikan-perbaikan dimulai dari pengembangan kurikulum di pesantren atau di sekolahan umumnya.





[1][1] Ahmad Shanhaji Dumairi, Fak. Ushuluddin, tingkat III.

0 comments:

Posting Komentar

cantumkan komentar anda disini