buku tamu

السنتري

بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين ويتبع سنة الرسول الامين صلى الله عليه وسلم ولا يميل يمنة ولا يسرة في كل وقت وحين هذا معناه بالسيرة والحقيقة لا يبدل ولا يغير قديما وحديثا. والله اعلم بنفس الامر وحقيقة الحال.قاله المغفور له حضرة الشيخ حسني بن نووي SANTRI. Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada Alqur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan dirubah selama-lamanya. Allah yang maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya. oleh: almaghfur lah kiai Hasani Nawawi

Sabtu, 17 November 2012

"Dhang Sabhah" Menangis



“Dhang sabhah” menangis
Sakit sekali rasanya, perih dan mengenaskan, mengapa nasibku seperti ini, sampai kapan kehormatanku akan terus diinjak-injak begini, diperlakukan dengan tidak semestinya. Ingin aku berontak, namun apalah daya, aku memang hanya diciptakan sebagai makhluk yang bisu?!
Mulanya, aku sangat bersyukur bisa berarti bagi tuanku, aku merasa sangat beruntung terlahir gagah kedunia ini, bentukku yang rupawan, warnaku yang menawan, menjadi kebanggaan tersendiri bagiku dan bangsaku. Tapi itu dulu, karena tuanku yang sekarang sangat jauh berbeda dengan tuanku yang dulu, aku menjadi semakin merasa hina, kotor dan menyeramkan, tak semempesona dulu lagi.
Dulu, aku sangat bangga terhadap tuanku, dia lihai memainkanku dan pandai memanjakanku, sesekali dia memandikanku dan mengusap-usapkanku diatas batu asahan yang halus dan putih menawan, menggesekkanku perlahan-lahan agar menghasilkan ketajaman yang bagus pada diriku, sampai terkadang batu yang mengasahkupun merajuk karena tergores oleh ketajamanku.
Tuanku yang ganteng itu, dia adalah pria yang terhormat, keturunan ningrat, berjiwa mulia dan suka membantu kaum miskin ditempatku, namun, dia diburu dan hendak dibunuh oleh sekelompok orang karena menolak menjual tanahnya pada musuh bangsanya, yang mana dia tahu, tanah itu kelak jika dibeli oleh mereka akan mereka gunakan untuk menindas anak bangsanya sendiri.
Sejak saat itu, tuanku semakin rajin memanjakanku dipengasahan, dia selalu membawaku kemanapun dia pergi, tak peduli siang ataupun malam, terik matahari ataupun hujan, semangat juangnya membela bangsanya selalu berkobar membara tak padam-padam. Suatu saat dia menentengku dan berbisik padaku “aku meminta ijin kepadamu, sebentar lagi aku akan melumurimu dengan darah-darah musuh kita, aku akan menggunakanmu untuk mematahkan tulang-tulang mereka dan mencabik-cabik kulit mereka, aku sudah tidak tahan dengan ulah mereka ditanah kita, mereka menindas dan merampas hak-hak bangsa kita, bersamamu, aku akan menumpas Londo-londo keparat itu”.
Akupun girang dan senang tiada kepalang, siapa yang tak bangga berada dalam genggaman pendekar gagah berseragam hitam dengan dipadu kaos liris merah-putih ini? Kumisnya yang tebal nan lancip, menjadikanku tampak semakin tampan dalam genggamannya, lalu akupun menari, bergelanyut diantara pergelangan dan kulit-kulit berpenyakit belang, menabrak tulang-tulang mereka dan mandi darah mereka, ah…aku semakin haus akan darah orang-orang seperti mereka.
Beberapa waktu kemudian, aku menjadi semakin terbiasa mandi darah orang-orang pendatang berpenyakit belang yang kurang ajar itu, akupun sering bertemu dengan sahabat-sahabat seperjuanganku dalam barisan yang sama, barisan pemberantas kejahatan yang direstui Tuhan, berjuang demi kemerdekaan bangsa dan tanah kelahiran, berpesta darah demi kehancuran “Londo-londo keparat” dan cecunguk-cecunguknya.
Hari demi hari, aku semakin bringas nan gagah mencincang persendian dan belikat mereka, aku semakin ketagihan akan darah mereka. Tapi nahas, mereka berhasil menangkap tuanku karena dikhianati oleh bangsanya sendiri, lalu mereka menggantung tuanku sampai mati kehabisan nafas. Bersama kepergian tuanku, semangat juang yang ada ditubuhku inipun mulai meredup, padam sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tersisa hanya sangat sedikit.
Suatu hari, aku sangat terkejut melihat beberapa sahabatku berada dalam barisan musuh, ternyata, para penghianat itu telah menggandakan jenisku untuk membantai anak bangsanya sendiri demi beberapa keping receh yang dijanjikan oleh orang-orang berpenyakit belang itu. Akupun menangis, menjerit berderit, mengerang kesakitan, terluka dan kotor terlumuri oleh darah bangsaku sendiri, lalu kupanjatkan doa “semoga ini adalah yang pertama dan terakhir-kalinya aku berdenting beradu menghantam bangsaku sendiri”.
Semua sudah tertulis, sebagai makhluk bisu yang tak dapat berbuat apa-apa, aku hanya bisa pasrah dalam genggaman tuanku, mau diapakan aku, atau kemana aku hendak dibawanya pergi. Dan kejadian itupun terulang kembali, lagi-lagi aku dipaksa berdenting memekak telinga dan beradu kilat dengan jenisku sendiri, luka itu, adalah lukaku, sakit itu, akupun merasakannya, perih tak terkira.
Tuanku yang sekarang, orangnya masih muda dan tampan, tapi tingkah lakunya semakin aneh dan memprihatinkan, pada malam jumat kliwon, dia memandikanku dengan darah ayam sambil membaca mantra, beberapa hari berikutnya, dia menentengku sambil berbisik dengan sombongnya “berbahagialah kamu, karena sebentar lagi aku akan memperlihatkan kehebatan dan ketejamanmu pada orang itu, akan aku robek perutnya dan kupenggal lehernya, sudah berhari-hari aku tahan kemarahan ini, dan sekaranglah saatnya”.
Oh… tuanku sudah tak seperti dulu lagi, ah… wajah yang garang dan angkuh itu, rasanya ingin aku meludahinya saja, ah… dada yang dibusungkan itu, rasanya aku ingin merobeknya saja! Astaghfirullah, kenapa aku jadi bertingkah seperti ini, apakah aku benar-benar telah ketagihan darah anak manusia, ya Allah ya Rabbi, aku sungguh sangat menyesal, aku menangis dan tak ada air mata yang bisa kuteteskan, aku tak mau, sekali lagi aku tak mau diperalat seperti ini, berhentilah wahai tuanku, aku tak rela anda melakukannya, karena aku tahu yang dimaksud “orang itu” adalah saudara anda sendiri.
Sekarang, bentukku lebih bagus dibanding dulu, sedikit lebih tegak dan gagah, dibuat dari bahan yang berkwalitas, putih mengkilap dan tajam tak terperikan, lalu mereka menjulukiku “Dhang sabhah”, tapi, getir dan pahit kurasakan, aku sudah cukup merasa sangat malu, semua orang beranggapan bahwa aku tak lain hanya alat yang menimbulkan kerusakan dimuka bumi ini, senjata yang memakan darah bangsanya sendiri, lalu kenapa tidak mereka musnahkan saja aku? Kalau tidak, kenapa tidak mereka kembalikan saja kehormatanku yang dahulu? Setiap kali mereka menyebutkan tanah kelahiranku, namaku selalu disandingkan, tapi sangat miris, mereka hanya bisa menyebut namaku dengan nada mengejek dan menjelek-jelekkan, lalu mencemooh dan merendahkan, padahal, dahulu aku adalah makhluk yang sangat mulia dan perkasa, dan sekarang, semua itu hilang hampir tanpa sisa ditelan malu.
Ya Tuhan… Engkaulah yang maha tahu bahwa aku tak bersalah, ampunilah kami dan berhentikanlah pertumpahan darah antar bangsaku, amin.


mengingat kembali sejarah Celurit dan Sakera.
cerpen ini diikutkan dalam lomba cerpen antar kabupaten se-Madura di Mesir, dalam memperingati HUT FOSGAMA (Forum Study Keluarga Madura) di Mesir, utusan kabupaten Bangkalan.
Ditulis oleh; Adam Elfarizy
16 November 2012