“Dhang
sabhah” menangis
Sakit sekali rasanya,
perih dan mengenaskan, mengapa nasibku seperti ini, sampai kapan kehormatanku
akan terus diinjak-injak begini, diperlakukan dengan tidak semestinya. Ingin
aku berontak, namun apalah daya, aku memang hanya diciptakan sebagai makhluk
yang bisu?!
Mulanya, aku sangat
bersyukur bisa berarti bagi tuanku, aku merasa sangat beruntung terlahir gagah
kedunia ini, bentukku yang rupawan, warnaku yang menawan, menjadi kebanggaan
tersendiri bagiku dan bangsaku. Tapi itu dulu, karena tuanku yang sekarang
sangat jauh berbeda dengan tuanku yang dulu, aku menjadi semakin merasa hina,
kotor dan menyeramkan, tak semempesona dulu lagi.
Dulu, aku sangat bangga
terhadap tuanku, dia lihai memainkanku dan pandai memanjakanku, sesekali dia
memandikanku dan mengusap-usapkanku diatas batu asahan yang halus dan putih
menawan, menggesekkanku perlahan-lahan agar menghasilkan ketajaman yang bagus pada
diriku, sampai terkadang batu yang mengasahkupun merajuk karena tergores oleh
ketajamanku.
Tuanku yang ganteng itu,
dia adalah pria yang terhormat, keturunan ningrat, berjiwa mulia dan suka
membantu kaum miskin ditempatku, namun, dia diburu dan hendak dibunuh oleh
sekelompok orang karena menolak menjual tanahnya pada musuh bangsanya, yang
mana dia tahu, tanah itu kelak jika dibeli oleh mereka akan mereka gunakan
untuk menindas anak bangsanya sendiri.
Sejak saat itu, tuanku
semakin rajin memanjakanku dipengasahan, dia selalu membawaku kemanapun dia
pergi, tak peduli siang ataupun malam, terik matahari ataupun hujan, semangat
juangnya membela bangsanya selalu berkobar membara tak padam-padam. Suatu saat
dia menentengku dan berbisik padaku “aku meminta ijin kepadamu, sebentar lagi
aku akan melumurimu dengan darah-darah musuh kita, aku akan menggunakanmu untuk
mematahkan tulang-tulang mereka dan mencabik-cabik kulit mereka, aku sudah
tidak tahan dengan ulah mereka ditanah kita, mereka menindas dan merampas
hak-hak bangsa kita, bersamamu, aku akan menumpas Londo-londo keparat itu”.
Akupun girang dan senang
tiada kepalang, siapa yang tak bangga berada dalam genggaman pendekar gagah
berseragam hitam dengan dipadu kaos liris merah-putih ini? Kumisnya yang tebal
nan lancip, menjadikanku tampak semakin tampan dalam genggamannya, lalu akupun
menari, bergelanyut diantara pergelangan dan kulit-kulit berpenyakit belang,
menabrak tulang-tulang mereka dan mandi darah mereka, ah…aku semakin haus akan
darah orang-orang seperti mereka.
Beberapa waktu kemudian,
aku menjadi semakin terbiasa mandi darah orang-orang pendatang berpenyakit
belang yang kurang ajar itu, akupun sering bertemu dengan sahabat-sahabat
seperjuanganku dalam barisan yang sama, barisan pemberantas kejahatan yang
direstui Tuhan, berjuang demi kemerdekaan bangsa dan tanah kelahiran, berpesta
darah demi kehancuran “Londo-londo keparat” dan cecunguk-cecunguknya.
Hari demi hari, aku
semakin bringas nan gagah mencincang persendian dan belikat mereka, aku semakin
ketagihan akan darah mereka. Tapi nahas, mereka berhasil menangkap tuanku
karena dikhianati oleh bangsanya sendiri, lalu mereka menggantung tuanku sampai
mati kehabisan nafas. Bersama kepergian tuanku, semangat juang yang ada
ditubuhku inipun mulai meredup, padam sedikit demi sedikit, sampai akhirnya
tersisa hanya sangat sedikit.
Suatu hari, aku sangat
terkejut melihat beberapa sahabatku berada dalam barisan musuh, ternyata, para
penghianat itu telah menggandakan jenisku untuk membantai anak bangsanya
sendiri demi beberapa keping receh yang dijanjikan oleh orang-orang berpenyakit
belang itu. Akupun menangis, menjerit berderit, mengerang kesakitan, terluka
dan kotor terlumuri oleh darah bangsaku sendiri, lalu kupanjatkan doa “semoga
ini adalah yang pertama dan terakhir-kalinya aku berdenting beradu menghantam
bangsaku sendiri”.
Semua sudah tertulis,
sebagai makhluk bisu yang tak dapat berbuat apa-apa, aku hanya bisa pasrah
dalam genggaman tuanku, mau diapakan aku, atau kemana aku hendak dibawanya
pergi. Dan kejadian itupun terulang kembali, lagi-lagi aku dipaksa berdenting memekak
telinga dan beradu kilat dengan jenisku sendiri, luka itu, adalah lukaku, sakit
itu, akupun merasakannya, perih tak terkira.
Tuanku yang sekarang,
orangnya masih muda dan tampan, tapi tingkah lakunya semakin aneh dan
memprihatinkan, pada malam jumat kliwon, dia memandikanku dengan darah ayam
sambil membaca mantra, beberapa hari berikutnya, dia menentengku sambil
berbisik dengan sombongnya “berbahagialah kamu, karena sebentar lagi aku akan
memperlihatkan kehebatan dan ketejamanmu pada orang itu, akan aku robek
perutnya dan kupenggal lehernya, sudah berhari-hari aku tahan kemarahan ini,
dan sekaranglah saatnya”.
Oh… tuanku sudah tak
seperti dulu lagi, ah… wajah yang garang dan angkuh itu, rasanya ingin aku
meludahinya saja, ah… dada yang dibusungkan itu, rasanya aku ingin merobeknya
saja! Astaghfirullah, kenapa aku jadi bertingkah seperti ini, apakah aku benar-benar
telah ketagihan darah anak manusia, ya Allah ya Rabbi, aku sungguh sangat
menyesal, aku menangis dan tak ada air mata yang bisa kuteteskan, aku tak mau,
sekali lagi aku tak mau diperalat seperti ini, berhentilah wahai tuanku, aku
tak rela anda melakukannya, karena aku tahu yang dimaksud “orang itu” adalah
saudara anda sendiri.
Sekarang, bentukku lebih
bagus dibanding dulu, sedikit lebih tegak dan gagah, dibuat dari bahan yang
berkwalitas, putih mengkilap dan tajam tak terperikan, lalu mereka menjulukiku
“Dhang sabhah”, tapi, getir dan pahit kurasakan, aku sudah cukup merasa sangat
malu, semua orang beranggapan bahwa aku tak lain hanya alat yang menimbulkan
kerusakan dimuka bumi ini, senjata yang memakan darah bangsanya sendiri, lalu
kenapa tidak mereka musnahkan saja aku? Kalau tidak, kenapa tidak mereka
kembalikan saja kehormatanku yang dahulu? Setiap kali mereka menyebutkan tanah kelahiranku,
namaku selalu disandingkan, tapi sangat miris, mereka hanya bisa menyebut
namaku dengan nada mengejek dan menjelek-jelekkan, lalu mencemooh dan
merendahkan, padahal, dahulu aku adalah makhluk yang sangat mulia dan perkasa,
dan sekarang, semua itu hilang hampir tanpa sisa ditelan malu.
Ya Tuhan… Engkaulah yang
maha tahu bahwa aku tak bersalah, ampunilah kami dan berhentikanlah pertumpahan darah
antar bangsaku, amin.
mengingat kembali sejarah Celurit dan Sakera.
cerpen ini diikutkan dalam lomba cerpen antar kabupaten se-Madura di Mesir, dalam memperingati HUT FOSGAMA (Forum Study Keluarga Madura) di Mesir, utusan kabupaten Bangkalan.
Ditulis oleh;
Adam Elfarizy
16 November
2012